Jumat, 29 Maret 2013


Kurikulum Tak Sesuai Penamaan
                                      
                                     
                                                       Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar


            Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air akrab dengan istilah

‘KTSP’. Akronim ini aslinya merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan. Namun di lapangan kadang-kadang justru diplesetkan. Satu di antaranya

yakni seperti tertera pada judul tulisan. (Biasalah, orang Indonesia adalah jagonya kalau

soal pleset-memlesetkan).

            Tak jelas siapa pencetus plesetan di atas. Tapi setidaknya hal tersebut memang

menarik untuk kembali dilirik. Masih pantas menjadi sesuatu yang perlu dibahas.


Mestinya menyerupai sistem kredit semester

            Jika dipikir-pikir, sesuai namanya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

semestinya menyerupai sistem kredit semester (SKS) di perguruan tinggi. Artinya, para

peserta didik pada tiap satuan pendidikan (SMP & SMA) seharusnya tidak lagi

dikelompokkan berdasarkan tingkatan-tingkatan kelas, semisal : kelas VII, VIII, IX dan

seterusnya. Otomatis, tak ada pula kategori naik atau tinggal kelas yang biasanya

dicantumkan untuk menutup tahun pelajaran (tahun akademik bagi mahasiswa). Sebagai

gantinya ialah meraih predikat ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’ per mata pelajaran, semester demi

semester.

            Sekadar ilustrasi, kira-kira begini. Misalkan pada semester pertama seorang siswa

mengikuti mata pelajaran Matematika I, Bahasa Inggris I, IPA I dan sebagainya. Dari

sejumlah mata pelajaran itu barangkali ia akan lulus semua. Tetapi tidak tertutup

kemungkinan ada pula beberapa mata pelajaran yang tidak lulus. Demikian juga untuk

semester-semester berikutnya. Nah, jika setelah tiga tahun (6 semester) ternyata masih

ada mata pelajaran yang belum lulus maka siswa tadi harus mengulang atau mengikuti

kembali mata pelajaran-mata pelajaran yang dimaksud sampai ia dinyatakan lulus

seluruhnya. Dengan kata lain, seharusnya dalam KTSP tidak mengenal adanya Ulangan

Umum (apalagi Ujian Nasional), kecuali untuk keperluan ‘pemetaan mutu’ semata.

Karena KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) telah dipatok sejak awal dengan berbagai

perhitungan dan pertimbangan. Jadi, siswa-siswa yang masuk SMP atau SMA pada tahun

yang sama belum tentu tamat pada tahun atau bahkan semester yangsama pula. Tetapi

tergantung kepada prestasi yang mereka peroleh.

            Namun tentu saja hal semacam itu sangat sulit dijalankan. Kita masih

memerlukan sejumlah tahapan untuk mengarah ke sana. Sementara kurikulum yang dulu

acapkali bergonta-ganti wajah dan penampilan sudah cukup merepotkan dan

memberatkan banyak kalangan, terutama para guru selaku ujung tombak dunia

pendidikan.


KTSP = otonomi sekolah

            Umumnya para praktisi pendidikan kita (terutama bapak dan ibu guru) masih

salah dalam mengartikan kurikulum yang diluncurkan sejak tahun 2006 lalu itu. Sebagian

besar terkesan kurang mampu memahaminya secara utuh, terlebih untuk menyusun dan

mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan. Singkat kata,

belum dapat beradaptasi dengan format asli KTSP tadi. Padahal KTSP diberlakukan

adalah dalam rangka melimpahkan wewenang yang cukup besar bagi setiap satuan

pendidikan (sekolah) dan para guru untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa-siswi

mereka. Artinya, jika sebelumnya aktivitas para guru hanyalah sebatas melaksanakan apa

yang telah ditetapkan oleh pemerintah (depdiknas) maka sekarang fungsi dan peran para

pendidik itu meluas menjadi penyusun dan   pengembang kurikulum, sekaligus sebagai

pelaksananya.

            Dengan demikian berarti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sejatinya

merupakan penerapan otonomi sekolah. Jadi, setiap satuan pendidikan (sekolah)

sesungguhnya berhak dan bahkan dituntut untuk membuet dan memiliki kurikulum

sendiri (khusus) sesuai situasi dan kondisi di lokasi masing-masing. Sedangkan

pemerintah hanyalah berperan memberikan acuan, yakni berupa ‘Standar Isi’ yang terdiri

dari beberapa ‘Standar Kompetensi’ dan ‘Kompetensi Dasar’saja. Selebihnya adalah

terserah kepada pihak sekolah untuk menyusun, mengembangkan dan melaksanakannya

di lapangan.

            Akan tetapi apa yang terjadi selama ini? Benarkah bapak dan ibu guru bisa

berkreasi, berinovasi dan berimprovisasi? Jauh panggang dari api. Malah semakin banyak  

intervensi yang datang dari sana-sini. Biasanya berasal dari oknum-oknum yang

menjadikan bisnis sebagai orientasi. Akibatnya, kebanyakan guru justru terpaku (dipaksa

mengacu) kepada LKS dan buku-buku yang sebetulnya tergolong tak bermutu. Sangat

bolehjadi merupakan hasil kerja yang dicetak/diterbitkan dengan sistem ‘kejar tayang’

alias terburu-buru.

            Apabila hal itu masih terus berlangsung maka sesungguhnya para guru malah

semakin bingung. KTSP takkan  dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Nyaris serupa

saja dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hanya sekadar bertukar nama. Hegemoni

pemerintah (terutama dinas-dinas pendidikan di daerah) tetap mendominasi wajah dunia

pendidikan kita. Maka tak perlu heran kalau sebenarnya KTSP hingga saat ini belum

dapat menyumbangkan nilai tambah apa-apa kepada para lulusan SMP maupun SMA,

disebabkan tidak ada relevansinya terhadap lingkungan sekitar mereka.

            Oleh karena itu, tiada cara lain kecuali kembali ke konsep asli. Memberikan ruang

yang seluas-luasnya kepada setiap sekolah (terutama para guru) untuk aktif berkreasi dan

berinovasi merancang kurikulum dan perangkat-perangkat pembelajaran yang diperlukan.

Singkirkan intevensi, enyahkan campurtangan. Dari siapapun, dari pihak manapun.

Kecuali sebatas memberi acuan sebagaimana telah disebutkan. Dengan begini barulah

KTSP benar-benar menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bukan Kurikulum

yang Tak Sesuai Penamaan.(*)


Penulis : Guru SMPN-2 Pegajahan Kab. Serdang Bedagai

Kurikulum Tak Sesuai Penamaan
                                     
                                                       Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar


            Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air akrab dengan istilah

‘KTSP’. Akronim ini aslinya merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan. Namun di lapangan kadang-kadang justru diplesetkan. Satu di antaranya

yakni seperti tertera pada judul tulisan. (Biasalah, orang Indonesia adalah jagonya kalau

soal pleset-memlesetkan).

            Tak jelas siapa pencetus plesetan di atas. Tapi setidaknya hal tersebut memang

menarik untuk kembali dilirik. Masih pantas menjadi sesuatu yang perlu dibahas.


Mestinya menyerupai sistem kredit semester

            Jika dipikir-pikir, sesuai namanya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

semestinya menyerupai sistem kredit semester (SKS) di perguruan tinggi. Artinya, para

peserta didik pada tiap satuan pendidikan (SMP & SMA) seharusnya tidak lagi

dikelompokkan berdasarkan tingkatan-tingkatan kelas, semisal : kelas VII, VIII, IX dan

seterusnya. Otomatis, tak ada pula kategori naik atau tinggal kelas yang biasanya

dicantumkan untuk menutup tahun pelajaran (tahun akademik bagi mahasiswa). Sebagai

gantinya ialah meraih predikat ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’ per mata pelajaran, semester demi

semester.

            Sekadar ilustrasi, kira-kira begini. Misalkan pada semester pertama seorang siswa

mengikuti mata pelajaran Matematika I, Bahasa Inggris I, IPA I dan sebagainya. Dari

sejumlah mata pelajaran itu barangkali ia akan lulus semua. Tetapi tidak tertutup

kemungkinan ada pula beberapa mata pelajaran yang tidak lulus. Demikian juga untuk

semester-semester berikutnya. Nah, jika setelah tiga tahun (6 semester) ternyata masih

ada mata pelajaran yang belum lulus maka siswa tadi harus mengulang atau mengikuti

kembali mata pelajaran-mata pelajaran yang dimaksud sampai ia dinyatakan lulus

seluruhnya. Dengan kata lain, seharusnya dalam KTSP tidak mengenal adanya Ulangan

Umum (apalagi Ujian Nasional), kecuali untuk keperluan ‘pemetaan mutu’ semata.

Karena KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) telah dipatok sejak awal dengan berbagai

perhitungan dan pertimbangan. Jadi, siswa-siswa yang masuk SMP atau SMA pada tahun

yang sama belum tentu tamat pada tahun atau bahkan semester yangsama pula. Tetapi

tergantung kepada prestasi yang mereka peroleh.

            Namun tentu saja hal semacam itu sangat sulit dijalankan. Kita masih

memerlukan sejumlah tahapan untuk mengarah ke sana. Sementara kurikulum yang dulu

acapkali bergonta-ganti wajah dan penampilan sudah cukup merepotkan dan

memberatkan banyak kalangan, terutama para guru selaku ujung tombak dunia

pendidikan.


KTSP = otonomi sekolah

            Umumnya para praktisi pendidikan kita (terutama bapak dan ibu guru) masih

salah dalam mengartikan kurikulum yang diluncurkan sejak tahun 2006 lalu itu. Sebagian

besar terkesan kurang mampu memahaminya secara utuh, terlebih untuk menyusun dan

mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan. Singkat kata,

belum dapat beradaptasi dengan format asli KTSP tadi. Padahal KTSP diberlakukan

adalah dalam rangka melimpahkan wewenang yang cukup besar bagi setiap satuan

pendidikan (sekolah) dan para guru untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa-siswi

mereka. Artinya, jika sebelumnya aktivitas para guru hanyalah sebatas melaksanakan apa

yang telah ditetapkan oleh pemerintah (depdiknas) maka sekarang fungsi dan peran para

pendidik itu meluas menjadi penyusun dan   pengembang kurikulum, sekaligus sebagai

pelaksananya.

            Dengan demikian berarti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sejatinya

merupakan penerapan otonomi sekolah. Jadi, setiap satuan pendidikan (sekolah)

sesungguhnya berhak dan bahkan dituntut untuk membuet dan memiliki kurikulum

sendiri (khusus) sesuai situasi dan kondisi di lokasi masing-masing. Sedangkan

pemerintah hanyalah berperan memberikan acuan, yakni berupa ‘Standar Isi’ yang terdiri

dari beberapa ‘Standar Kompetensi’ dan ‘Kompetensi Dasar’saja. Selebihnya adalah

terserah kepada pihak sekolah untuk menyusun, mengembangkan dan melaksanakannya

di lapangan.

            Akan tetapi apa yang terjadi selama ini? Benarkah bapak dan ibu guru bisa

berkreasi, berinovasi dan berimprovisasi? Jauh panggang dari api. Malah semakin banyak  

intervensi yang datang dari sana-sini. Biasanya berasal dari oknum-oknum yang

menjadikan bisnis sebagai orientasi. Akibatnya, kebanyakan guru justru terpaku (dipaksa

mengacu) kepada LKS dan buku-buku yang sebetulnya tergolong tak bermutu. Sangat

bolehjadi merupakan hasil kerja yang dicetak/diterbitkan dengan sistem ‘kejar tayang’

alias terburu-buru.

            Apabila hal itu masih terus berlangsung maka sesungguhnya para guru malah

semakin bingung. KTSP takkan  dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Nyaris serupa

saja dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hanya sekadar bertukar nama. Hegemoni

pemerintah (terutama dinas-dinas pendidikan di daerah) tetap mendominasi wajah dunia

pendidikan kita. Maka tak perlu heran kalau sebenarnya KTSP hingga saat ini belum

dapat menyumbangkan nilai tambah apa-apa kepada para lulusan SMP maupun SMA,

disebabkan tidak ada relevansinya terhadap lingkungan sekitar mereka.

            Oleh karena itu, tiada cara lain kecuali kembali ke konsep asli. Memberikan ruang

yang seluas-luasnya kepada setiap sekolah (terutama para guru) untuk aktif berkreasi dan

berinovasi merancang kurikulum dan perangkat-perangkat pembelajaran yang diperlukan.

Singkirkan intevensi, enyahkan campurtangan. Dari siapapun, dari pihak manapun.

Kecuali sebatas memberi acuan sebagaimana telah disebutkan. Dengan begini barulah

KTSP benar-benar menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bukan Kurikulum

yang Tak Sesuai Penamaan.(*)


Penulis : Guru SMPN-2 Pegajahan Kab. Serdang Bedagai

Pendidikan serta Semangat Persatuan dan Kesatuan                       

Mengantarkan Indonesia Meraih Kemerdekaan

Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar  

Dari sejumlah negara di dunia bisa dikatakan Indonesia termasuk salah satu yang potensi disintegrasinya  menduduki posisi tertinggi. Penyebabnya antara lain adalah keanekaragaman etnik, bahasa, agama, budaya dan sebagainya. Kesenjangan (ketidakseimbangan) berbagai kelompok masyarakat ini di bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain-lainnya tentu saja dapat menjadi ‘bom waktu’ yang siap meledak jika tidak diantisipasi secara bijak. 
Bahkan ancaman tersebut sebenarnya telah ada sejak negeri kita lahir sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Baik dengan latar belakang ideologis maupun atas dalih separatis.
Bagaimanapun sejarah telah membuktikan bahwa apabila kita terpecah belah maka kita akan tetap menjadi bangsa yang terjajah. Jika jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia  tidak kita miliki maka kita bakal kehilangan kekuatan dan mudah diadu domba. Karenanya, persatuan dan kesatuan itu menjadi sesuatu yang mutlak untuk dipertahankan. Singkat kata, agar menjadi bangsa yang besar dan kuat serta disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain maka kita harus tetap bersatu padu. Semangat  ‘Bhinneka Tunggal Ika’ harus senantiasa terjaga. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan mengenali dan mengenang kembali sejarah perjuangan bangsa kita di masa lalu.
Di antara momen terpenting bersejarah tersebut ialah suatu hari yang kita kenal dengan sebutan Hari Kebangkitan Nasional. Hari yang jatuh pada tanggal 20 Mei 1908 ini merupakan tonggak sejarah yang ditandai dengan tumbuhnya kembali kesadaran berbangsa yang dilandasi oleh semangat persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat Indonesia.
Dikatakan tumbuh kembali karena memang jauh sebelum itu sebenarnya  kita sudah pernah merasakan hal serupa. Proses panjang dimaksud sebetulnya telah dimulai sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Di era keemasannya kedua kerajaan ini memiliki wilayah pemerintahan (kekuasaan) yang bahkan ada  melewati batas teritorial NKRI sekarang.
Dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa, lambat laun kegemilangan itupun menjadi sirna. Selanjutnya, masa-masa penderitaanlah yang datang menggantikan. Tiada lain faktor utamanya adalah hampanya semangat persatuan dan kesatuan akibat politik ‘devide et impera’ yang diterapkan pihak penjajah (bangsa-bangsa Eropa) tadi.
Semua yang dialami pada masa-masa penjajahan tersebut menjadi catatan tersendiri akan betapa penting dan berharganya nilai persatuan dan kesatuan bagi tegak dan utuhnya Negara Republik Indonesia. Senjata, strategi perang yang jitu dan berbagai kesaktian serta kekuatan lainnya terbukti tak dapat mengantarkan  Indonesia menuju kemerdekaan bila tidak diiringi dengan semangat persatuan dan kesatuan. Kesadaran inilah yang kelak menjadi kekuatan utama dan terbesar dalam perjuangan bangsa kita hingga mencapai kemerdekaan.
Segenap komponen bangsa (terutama para pemuda) kemudian mengubah strategi perjuangan yang dilakukan. Maka terbentuklah sebuah organisasi yang disebut dengan Budi Utomo di mana kaum muda menjadikan pendidikan sebagai tambahan kekuatan guna melengkapi dan menyempurnakan semangat persatuan dan kesatuan itu demi meraih kemerdekaan yang dicita-citakan. Terbukti keduanya menyumbangkan kontribusi terbesar sehingga Indonesia merdeka terwujud menjadi nyata.(*)  

Penulis : Guru SMPN-2 Pegajahan, Serdang Bedagai

Sekilas Tentang Pendidikan Karakter
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

 Salah satu hal penting yang dicanangkan oleh Bapak M. Nuh (Mendiknas-RI) setahun silam, bersamaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional kala itu adalah tentang perlunya Pendidikan Karakter bagi para siswa.      
            Apa yang disampaikan oleh petinggi Kementerian Pendidikan Nasional kita itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab sejatinya pendidikan memang merupakan proses membangun karakter para peserta didik, yakni membentuk sikap dan perilaku-perilaku positif pada diri mereka. Walau harus diakui, dalam prakteknya justru tidak sedikit para guru yang lebih cenderung menerapkan ‘pengajaran’ daripada ‘pendidikan’. Lebih mementingkan pencapaian target kurikulum ketimbang melakukan hal-hal yang sifatnya benar-benar mendidik.
            Lalu, sikap dan perilaku bagaimanakah sebetulnya yang harus ditanamkan oleh kalangan pendidik tersebut kepada para muridnya? Sayang, hal ini tidak dijelaskan secara terperinci. Baik oleh Pak Menteri sendiri, apalagi kelompok-kelompok lain yang terkesan hanya ‘membeo’ namun sok piawai menuturkan kata-kata ‘Pendidikan Karakter’ tadi.
            Menurut hemat penulis, karakter (sikap dan perilaku) yang dimaksud, antara lain ialah:




1.Takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa
Sikap dan perilaku paling utama yang diharapkan terbentuk menjadi karakter pada diri setiap  peserta didik tentunya  adalah takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sebab  sikap dan perilaku ini sekaligus menjadi landasan bagi pembentukan karakter-karakter positif lainnya.
Mengajak anak-anak didik menjalankan  ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing dan melarang mereka melanggar ajaran agama dan kepercayaannya itu pada setiap waktu dan kesempatan adalah sebuah langkah untuk membentuk karakter ketakwaan  kepada Tuhan Yang Mahaesa. Tentu saja ini tak akan berbuah apa-apa jika hanya sekadar lewat kata-kata. Tetapi para guru harus menerapkannya melalui contoh keteladanan. Setiap guru harus pula  menunjukkan dan melakukan hal itu di depan para muridnya.

2. Berjiwa Pancasila  
Sikap dan perilaku berjiwa Pancasila tak kalah urgennya untuk ditanamkan menjadi karakter yang mesti dimiliki setiap peserta didik. Karakter berjiwa Pancasila merupakan perisai yang akan melindungi keutuhan wilayah NKRI dari rongrongan yang ingin memecah-belah persatuan dan kesatuan kita. Baik yang datangnya dari luar maupun berasal dari dalam negeri sendiri.
Setiap siswa harus mempunyai karakter yang senantiasa saling menghormati satu sama lain, meskipun mereka berbeda agama,  suku dan sebagainya. Baik terhadap teman, guru dan warga sekitar mereka atau bahkan kepada siapa  saja.

3. Berakhlak mulia
Karakter takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berjiwa Pancasila tentunya akan berkorelasi pula dengan akhlak-akhlak yang mulia, di antaranya yaitu:
a.       Jujur, dapat dipercaya dan  senantiasa menepati janjinya
b.      Hormat dan berbakti kepada guru dan orangtua
c.       Tekun belajar dan giat berusaha
d.      Sabar dan pantang menyerah
e.       Disiplin dan menghargai waktu
f.        Saling menghormati sesama teman
g.       Rendah hati dan selalu bersahaja
h.       Dermawan dan gemar memberikan pertolongan
i.         Dan lain sebagainya.
Itulah barangkali sekilas gambaran tentang karakter-karakter yang dimaksudkan oleh Bapak Mendiknas-RI selaku penanggungjawab tertinggi kualitas pendidikan di negeri ini. Apa dan bagaimana cara membentuk sikap dan  perilaku para peserta didik yang demikian, tentu ibu dan bapak gurulah yang lebih tahu dan mengerti situasi dan kondisi di lapangan.(*)

Penulis : Guru SMPN-2 Pegajahan, Serdang Bedagai
Menyeimbangkan Fungsi Otak Kiri dan Kanan Dalam Pembelajaran
Oleh : Drs.Halim Mansyur Siregar

            Di tengah berlangsungnya KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) barangkali ibu dan bapak guru pernah atau bahkan sering menjumpai ada beberapa siswa yang melakukan hal-hal semisal menghayal, menggambar-gambar sesuatu di buku, iseng mengganggu teman sebangku maupun perbuatan-perbuatan lain yang sebetulnya tidak perlu dan tak ada kaitannya dengan topik pembelajaran saat itu.
            Beragam pula mungkin reaksi yang kita tunjukkan dalam menyikapi ataupun mengatasi tingkah polah anak-anak didik tadi. Boleh jadi ada yang marah dibuatnya. Atau ada juga yang sekadar mengingatkan dengan lemah lembut kepada mereka agar kembali fokus terhadap pelajaran. Bahkan ada pula yang ‘cuek bebek’ alias pura-pura tidak tahu dan masa bodoh dengan keadaan demikian. Serta banyak lagi kemungkinan lain yang ditimbulkan.
            Apapun tindakan tersebut, sepanjang bersifat dan berniat untuk mendidik mereka ke arah yang lebih baik tentulah manusiawi dan sah-sah saja. Namun selaku pendidik, sebaiknya kitapun mesti introspeksi diri daripada larut terbawa emosi. Senantiasa berpikir positif dan selalu berupaya mencari serta menemukan akar permasalahannya untuk kemudian memperoleh jalan keluar mengatasi situasi dan kondisi seperti ini agar tidak terulang dan terulang lagi berkali-kali.
            Perlu sama kita ketahui, seiring berkembang pesatnya kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini kiranya telah ditemukan bahwa pada otak manusia terdapat bagian yang disebut dengan otak kanan dan otak kiri di mana masing-masing memiliki fungsi tersendiri (khusus). Penemuan dan penelitian tersebut juga membuktikan bahwa ternyata selama ini otak kiri para peserta didiklah yang sangat dominan kita aktifkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Sementara otak kanan nyaris sama sekali tiada digunakan.
            Itulah salah satu penyebab mengapa fenomena letih,  lesu dan tak bergairah serta bosan menerpa sebagian siswa kita di kala mengikuti pelajaran. Karena otak kiri mereka terus dipacu untuk bekerja, sedangkan otak kanan tidak dilibatkan. Akibatnya, otak kiri si anak bakal kelelahan dan akan menyerap lebih banyak oksigen serta glukosa tubuhnya sehingga otak bagian kanan justru menjadi kekurangan. Reaksi (kompensasi) spontan dari otak kananlah sesungguhnya yang mereka perlihatkan.
            Masih menurut penelitian dimaksud, apabila penggunaan otak kiri seseorang lebih dominan maka belajar akan lebih baik dimulai dari bagian per bagian baru secara keseluruhan. Sebaliknya, kalau lebih dominan otak kanan maka belajar akan lebih baik dimulai dulu dari keseluruhannya barulah kemudian bagian per bagian.
            Oleh karena itu, kegiatan belajar mengajar membutuhkan metoda yang melibatkan otak kiri dan otak kanan secara seimbang. Menampilkan gambar-gambar, membuat gerakan-gerakan tertentu, menyelinginya dengan cerita atau bahkan memutar dan memperdengarkan musik, film dan sebagainya di sela aktifitas pembelajaran merupakan suatu bentuk yang ‘direkomendasikan’. Tentu saja cerita, musik dan film yang dimaksud adalah yang mengandung nilai-nilai positif (kebaikan) dalam upaya memacu semangat belajar dan kreatifitas para peserta didik. Sudahkah kita mencoba menerapkannya (?)***
Penulis : Guru SMPN-2 Pegajahan, Serdang Bedagai 


Intelektual Sejati
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar

            Siapapun kita tentu sepakat jika predikat kelompok intelektual sesungguhnya melekat pada sosok-sosok ibu dan bapak guru. Selaku penyandang gelar yang cukup terhormat itu maka sudah selayaknya pula para guru bersikap dan berperilaku serta menjalankan fungsi yang mencerminkan keintelektualan. Dengan kata lain, para guru merupakan sumber pengetahuan sekaligus menjadi figur panutan yang digugu dan ditiru oleh murid-murid mereka.
            Sebagai pengajar (sumber ilmu), sebenarnya setiap guru masih mempunyai kewajiban untuk terus meningkatkan wawasan keilmuan yang telah mereka dapatkan melalui pendidikan maupun pengalaman di lapangan. Dan selaku pendidik (panutan), gurupun harus senantiasa berupaya mengajak, membimbing dan mendorong murid-muridnya ke arah yang sama. Di sinilah kegemaran  membaca dan menulis (menyampaikan  gagasan, pengetahuan, pengalaman dan sebagainya dengan menggunakan bahasa tulisan) mengambil peran.
            Betapa pentingnya peranan kegemaran membaca, terlebih kebiasaan menulis tadi sehingga bisa dikategorikan merupakan budayanya kaum intelektual. Aktifitas baca-tulis dianggap mewakili kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari semakin tinggi. Artinya, tingkat intelektualitas seseorang dapat dilihat dari seberapa gemar ia membaca dan seberapa sering pula ia membuat tulisan, terutama jika tulisan-tulisannya kemudian juga diterbitkan oleh media massa berupa koran, majalah dan sebagainya.
            Wajar-wajar saja pemikiran di atas. Logikanya, sejak seseorang (di masa balita) mempunyai kemampuan bicara, tentulah ia mampu mengutarakan dan mengungkapkan   keinginan, pengetahuan atau pengalaman dan hal-hal lain yang terjadi pada dirinya dengan bertutur kata secara lisan. Sementara memaparkan melalui tulisan barangkali baru dipelajari setelah duduk di bangku sekolah dasar nanti untuk selanjutnya akan terus diasah pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
            Di samping itu, tentunya penulis menempati posisi yang lebih tinggi daripada pembaca. Penulis adalah seumpama guru yang mengajari (memberi informasi), sedangkan pembaca laksana para siswa yang menyerap informasi dimaksud. Baik informasi mengenai kejadian-kejadian tertentu, penemuan-penemuan teknologi baru, gagasan-gagasan penyelesaian masalah yang nyaris menemui jalan buntu maupun hal-hal lain yang memang dirasa perlu.
            Pendek kata,  menulis adalah suatu perbuatan mulia. Tentu saja apabila tulisan yang dihasilkan berguna  untuk kebaikan masyarakat (pembaca), terutama dalam rangka  menambah khazanah wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun manfaat-manfaat positif lainnya yang berfaedah  bagi umat manusia.
            Yang jelas, aktifitas menulis akan memberikan dampak yang cukup signifikan kepada berbagai kalangan. Golongan  pembaca semakin luas wawasannya. Media massa ikut berkembang atas tulisan yang kita sumbang. Anak-anak didik tidak hanya berkutat pada buku-buku pelajaran yang terkadang   kaku dan kering kerontang. Penulisnya pun tak jarang bisa memperoleh uang jika tulisannya dimuat (diterbitkan) pada rubrik atau di media massa yang memberlakukan ketentuan demikian.
            Semoga uraian dalam tulisan ini menggugah hati komunitas guru selaku pemangku profesi yang mengaku dan diakui sebagai kaum intelektual untuk ikut berpartisipasi meramaikan dunia kepenulisan. Semakin berminat menulis dan semakin produktif menghasilkan tulisan berarti kita memang intelektual sejati.(*)