Kurikulum Tak Sesuai Penamaan
Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar
Dalam
beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air akrab dengan istilah
‘KTSP’. Akronim ini aslinya merupakan singkatan dari
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Namun di lapangan kadang-kadang justru
diplesetkan. Satu di antaranya
yakni seperti tertera pada judul tulisan. (Biasalah, orang Indonesia
adalah jagonya kalau
soal pleset-memlesetkan).
Tak jelas
siapa pencetus plesetan di atas. Tapi setidaknya hal tersebut memang
menarik untuk kembali dilirik. Masih pantas menjadi sesuatu
yang perlu dibahas.
Mestinya menyerupai
sistem kredit semester
Jika
dipikir-pikir, sesuai namanya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
semestinya menyerupai sistem kredit semester (SKS) di
perguruan tinggi. Artinya, para
peserta didik pada tiap satuan pendidikan (SMP & SMA)
seharusnya tidak lagi
dikelompokkan berdasarkan tingkatan-tingkatan kelas, semisal
: kelas VII, VIII, IX dan
seterusnya. Otomatis, tak ada pula kategori naik atau
tinggal kelas yang biasanya
dicantumkan untuk menutup tahun pelajaran (tahun akademik
bagi mahasiswa). Sebagai
gantinya ialah meraih predikat ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’
per mata pelajaran, semester demi
semester.
Sekadar
ilustrasi, kira-kira begini. Misalkan pada semester pertama seorang siswa
mengikuti mata pelajaran Matematika I, Bahasa Inggris I, IPA
I dan sebagainya. Dari
sejumlah mata pelajaran itu barangkali ia akan lulus semua.
Tetapi tidak tertutup
kemungkinan ada pula beberapa mata pelajaran yang tidak
lulus. Demikian juga untuk
semester-semester berikutnya. Nah, jika setelah tiga tahun
(6 semester) ternyata masih
ada mata pelajaran yang belum lulus maka siswa tadi harus
mengulang atau mengikuti
kembali mata pelajaran-mata pelajaran yang dimaksud sampai
ia dinyatakan lulus
seluruhnya. Dengan kata lain, seharusnya dalam KTSP tidak
mengenal adanya Ulangan
Umum (apalagi Ujian Nasional), kecuali untuk keperluan ‘pemetaan
mutu’ semata.
Karena KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) telah dipatok sejak
awal dengan berbagai
perhitungan dan pertimbangan. Jadi, siswa-siswa yang masuk
SMP atau SMA pada tahun
yang sama belum tentu tamat pada tahun atau bahkan semester
yangsama pula. Tetapi
tergantung kepada prestasi yang mereka peroleh.
Namun tentu
saja hal semacam itu sangat sulit dijalankan. Kita masih
memerlukan sejumlah tahapan untuk mengarah ke sana . Sementara kurikulum
yang dulu
acapkali bergonta-ganti wajah dan penampilan sudah cukup merepotkan
dan
memberatkan banyak kalangan, terutama para guru selaku ujung
tombak dunia
pendidikan.
KTSP = otonomi
sekolah
Umumnya
para praktisi pendidikan kita (terutama bapak dan ibu guru) masih
salah dalam mengartikan kurikulum yang diluncurkan sejak
tahun 2006 lalu itu. Sebagian
besar terkesan kurang mampu memahaminya secara utuh,
terlebih untuk menyusun dan
mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar yang
dilakukan. Singkat kata,
belum dapat beradaptasi dengan format asli KTSP tadi.
Padahal KTSP diberlakukan
adalah dalam rangka melimpahkan wewenang yang cukup besar
bagi setiap satuan
pendidikan (sekolah) dan para guru untuk menentukan tingkat
keberhasilan siswa-siswi
mereka. Artinya, jika sebelumnya aktivitas para guru
hanyalah sebatas melaksanakan apa
yang telah ditetapkan oleh pemerintah (depdiknas) maka
sekarang fungsi dan peran para
pendidik itu meluas menjadi penyusun dan pengembang kurikulum, sekaligus sebagai
pelaksananya.
Dengan
demikian berarti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sejatinya
merupakan penerapan otonomi sekolah. Jadi, setiap satuan
pendidikan (sekolah)
sesungguhnya berhak dan bahkan dituntut untuk membuet dan
memiliki kurikulum
sendiri (khusus) sesuai situasi dan kondisi di lokasi
masing-masing. Sedangkan
pemerintah hanyalah berperan memberikan acuan, yakni berupa ‘Standar
Isi’ yang terdiri
dari beberapa ‘Standar Kompetensi’ dan ‘Kompetensi Dasar’saja.
Selebihnya adalah
terserah kepada pihak sekolah untuk menyusun, mengembangkan
dan melaksanakannya
di lapangan.
Akan tetapi
apa yang terjadi selama ini? Benarkah bapak dan ibu guru bisa
berkreasi, berinovasi dan berimprovisasi? Jauh panggang dari
api. Malah semakin banyak
intervensi yang datang dari sana-sini. Biasanya berasal dari
oknum-oknum yang
menjadikan bisnis sebagai orientasi. Akibatnya, kebanyakan
guru justru terpaku (dipaksa
mengacu) kepada LKS dan buku-buku yang sebetulnya tergolong
tak bermutu. Sangat
bolehjadi merupakan hasil kerja yang dicetak/diterbitkan
dengan sistem ‘kejar tayang’
alias terburu-buru.
Apabila hal
itu masih terus berlangsung maka sesungguhnya para guru malah
semakin bingung. KTSP takkan
dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Nyaris serupa
saja dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hanya sekadar
bertukar nama. Hegemoni
pemerintah (terutama dinas-dinas pendidikan di daerah) tetap
mendominasi wajah dunia
pendidikan kita. Maka tak perlu heran kalau sebenarnya KTSP
hingga saat ini belum
dapat menyumbangkan nilai tambah apa-apa kepada para lulusan
SMP maupun SMA,
disebabkan tidak ada relevansinya terhadap lingkungan
sekitar mereka.
Oleh karena
itu, tiada cara lain kecuali kembali ke konsep asli. Memberikan ruang
yang seluas-luasnya kepada setiap sekolah (terutama para
guru) untuk aktif berkreasi dan
berinovasi merancang kurikulum dan perangkat-perangkat
pembelajaran yang diperlukan.
Singkirkan intevensi, enyahkan campurtangan. Dari siapapun,
dari pihak manapun.
Kecuali sebatas memberi acuan sebagaimana telah disebutkan.
Dengan begini barulah
KTSP benar-benar menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Bukan Kurikulum
yang Tak Sesuai Penamaan.(*)