Jumat, 29 Maret 2013


Kurikulum Tak Sesuai Penamaan
                                     
                                                       Oleh : Drs. Halim Mansyur Siregar


            Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air akrab dengan istilah

‘KTSP’. Akronim ini aslinya merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan. Namun di lapangan kadang-kadang justru diplesetkan. Satu di antaranya

yakni seperti tertera pada judul tulisan. (Biasalah, orang Indonesia adalah jagonya kalau

soal pleset-memlesetkan).

            Tak jelas siapa pencetus plesetan di atas. Tapi setidaknya hal tersebut memang

menarik untuk kembali dilirik. Masih pantas menjadi sesuatu yang perlu dibahas.


Mestinya menyerupai sistem kredit semester

            Jika dipikir-pikir, sesuai namanya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

semestinya menyerupai sistem kredit semester (SKS) di perguruan tinggi. Artinya, para

peserta didik pada tiap satuan pendidikan (SMP & SMA) seharusnya tidak lagi

dikelompokkan berdasarkan tingkatan-tingkatan kelas, semisal : kelas VII, VIII, IX dan

seterusnya. Otomatis, tak ada pula kategori naik atau tinggal kelas yang biasanya

dicantumkan untuk menutup tahun pelajaran (tahun akademik bagi mahasiswa). Sebagai

gantinya ialah meraih predikat ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’ per mata pelajaran, semester demi

semester.

            Sekadar ilustrasi, kira-kira begini. Misalkan pada semester pertama seorang siswa

mengikuti mata pelajaran Matematika I, Bahasa Inggris I, IPA I dan sebagainya. Dari

sejumlah mata pelajaran itu barangkali ia akan lulus semua. Tetapi tidak tertutup

kemungkinan ada pula beberapa mata pelajaran yang tidak lulus. Demikian juga untuk

semester-semester berikutnya. Nah, jika setelah tiga tahun (6 semester) ternyata masih

ada mata pelajaran yang belum lulus maka siswa tadi harus mengulang atau mengikuti

kembali mata pelajaran-mata pelajaran yang dimaksud sampai ia dinyatakan lulus

seluruhnya. Dengan kata lain, seharusnya dalam KTSP tidak mengenal adanya Ulangan

Umum (apalagi Ujian Nasional), kecuali untuk keperluan ‘pemetaan mutu’ semata.

Karena KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) telah dipatok sejak awal dengan berbagai

perhitungan dan pertimbangan. Jadi, siswa-siswa yang masuk SMP atau SMA pada tahun

yang sama belum tentu tamat pada tahun atau bahkan semester yangsama pula. Tetapi

tergantung kepada prestasi yang mereka peroleh.

            Namun tentu saja hal semacam itu sangat sulit dijalankan. Kita masih

memerlukan sejumlah tahapan untuk mengarah ke sana. Sementara kurikulum yang dulu

acapkali bergonta-ganti wajah dan penampilan sudah cukup merepotkan dan

memberatkan banyak kalangan, terutama para guru selaku ujung tombak dunia

pendidikan.


KTSP = otonomi sekolah

            Umumnya para praktisi pendidikan kita (terutama bapak dan ibu guru) masih

salah dalam mengartikan kurikulum yang diluncurkan sejak tahun 2006 lalu itu. Sebagian

besar terkesan kurang mampu memahaminya secara utuh, terlebih untuk menyusun dan

mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan. Singkat kata,

belum dapat beradaptasi dengan format asli KTSP tadi. Padahal KTSP diberlakukan

adalah dalam rangka melimpahkan wewenang yang cukup besar bagi setiap satuan

pendidikan (sekolah) dan para guru untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa-siswi

mereka. Artinya, jika sebelumnya aktivitas para guru hanyalah sebatas melaksanakan apa

yang telah ditetapkan oleh pemerintah (depdiknas) maka sekarang fungsi dan peran para

pendidik itu meluas menjadi penyusun dan   pengembang kurikulum, sekaligus sebagai

pelaksananya.

            Dengan demikian berarti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sejatinya

merupakan penerapan otonomi sekolah. Jadi, setiap satuan pendidikan (sekolah)

sesungguhnya berhak dan bahkan dituntut untuk membuet dan memiliki kurikulum

sendiri (khusus) sesuai situasi dan kondisi di lokasi masing-masing. Sedangkan

pemerintah hanyalah berperan memberikan acuan, yakni berupa ‘Standar Isi’ yang terdiri

dari beberapa ‘Standar Kompetensi’ dan ‘Kompetensi Dasar’saja. Selebihnya adalah

terserah kepada pihak sekolah untuk menyusun, mengembangkan dan melaksanakannya

di lapangan.

            Akan tetapi apa yang terjadi selama ini? Benarkah bapak dan ibu guru bisa

berkreasi, berinovasi dan berimprovisasi? Jauh panggang dari api. Malah semakin banyak  

intervensi yang datang dari sana-sini. Biasanya berasal dari oknum-oknum yang

menjadikan bisnis sebagai orientasi. Akibatnya, kebanyakan guru justru terpaku (dipaksa

mengacu) kepada LKS dan buku-buku yang sebetulnya tergolong tak bermutu. Sangat

bolehjadi merupakan hasil kerja yang dicetak/diterbitkan dengan sistem ‘kejar tayang’

alias terburu-buru.

            Apabila hal itu masih terus berlangsung maka sesungguhnya para guru malah

semakin bingung. KTSP takkan  dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Nyaris serupa

saja dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hanya sekadar bertukar nama. Hegemoni

pemerintah (terutama dinas-dinas pendidikan di daerah) tetap mendominasi wajah dunia

pendidikan kita. Maka tak perlu heran kalau sebenarnya KTSP hingga saat ini belum

dapat menyumbangkan nilai tambah apa-apa kepada para lulusan SMP maupun SMA,

disebabkan tidak ada relevansinya terhadap lingkungan sekitar mereka.

            Oleh karena itu, tiada cara lain kecuali kembali ke konsep asli. Memberikan ruang

yang seluas-luasnya kepada setiap sekolah (terutama para guru) untuk aktif berkreasi dan

berinovasi merancang kurikulum dan perangkat-perangkat pembelajaran yang diperlukan.

Singkirkan intevensi, enyahkan campurtangan. Dari siapapun, dari pihak manapun.

Kecuali sebatas memberi acuan sebagaimana telah disebutkan. Dengan begini barulah

KTSP benar-benar menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bukan Kurikulum

yang Tak Sesuai Penamaan.(*)


Penulis : Guru SMPN-2 Pegajahan Kab. Serdang Bedagai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar